Senin, 04 Februari 2013

REFORMASI BIROKRASI


REFORMASI BIROKRASI

Hingga memasuki satu dasawarsa sejak reformasi digulirkan, perbaikan birokrasi pemerintah belum memperlihatkan  tanda-tanda   kemajuan  yang  berarti.

Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya perbaikan.

Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah nampak. Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba memperbaiki birokrasi kita. Upaya tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari penyakit kronis KKN yang diidapnya dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini lembaga dan pada hampir semua kegiatan.

Proses refomasi birokrasi yang dilakukan pemerintah saat ini belum menunjukkan hasil yang sesuai dengan harapan masyarakat. Sementara itu berbagai publikasi lembaga independent internasional yang berkonsentrasi terhadap masalah pelayanan  menunjukkan rendahnya kinerja pelayanan birokrasi, yang menempatkan Indonesia pada kelompok terbawah bersama negara berkembang dari Asia dan Afrika.
Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy menunjukkan bahwa kualitas birokrasi di Indonesia termasuk yang terburuk bersama Vietnam dan India. Gambaran ini juga sedikit banyak menyiratkan betapa agenda reformasi birokrasi tidak pernah secara serius menjadi prioritas utama dari pemerintah. Hasil serupa juga ditunjukkan The World Competitiveness Yearbook yang dikeluarkan oleh Institute for Management Development (IMD) yang menggolongkan indeks kompetitif birokrasi Indonesia di kelompok terendah sebelum India dan Vietnam.

Reformasi birokrasi juga sangat diperlukan untuk menciptakan clean and good governance. Sebagai salah satu negara terkorup, kita telah menjadi bulan-bulanan dan bahan ejekan dalam pergaulan antar bangsa. Betapa tidak, berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan untuk mengatasi berbagai tindakan KKN di lingkungan pemerintahan ternyata sampai saat ini belum mampu mengendalikan korupsi, bahkan korupsi cenderung makin melebar pada hampir seluruh lini kepemerintahan, termasuk juga pada lembaga-lembaga tinggi negara.

Sebenarnya kesungguhan awal untuk melakukan pemberantasan KKN telah ditetapkan melalui Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN dalam salah satu arah kebijakan Penyelenggara Negara yang menyatakan perlunya “membersihkan penyelenggara negara dari praktik KKN dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral”. Kemudian UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN, serta UU 31 Tahun 1999 j.o. UU 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut juga mengamanatkan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Namun berbagai aturan tersebut hanya menjadi dokumen saja tanpa ada keseriusan untuk menjalankannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar