Jumat, 30 Desember 2011

Kemiskinan, Identifikasi Penyebab dan Strategi Penanggulangannya


KEMISKINAN
Identifikasi Penyebab & Strategi Penanggulangannya
 
Tulisan ini adalah Bagian Pendahuluan dari buku yang saya buat dan telah diterbitkan  tahun 2011 oleh Nadi Pustaka bekerjasama dengan Publica Institute.
Memulai buku tersebut, saya teringat pada sebuah anekdot yang mungkin bisa menjawab kegelisahan bangsa kita selama ini. Kegelisahan yang membuat kita mungkin sering bertanya, bahwa mengapa sampai saat ini jumlah masyarakat miskinnya masih banyak, sementara negara-negara lain yang dulunya bernasib sama seperti kita, kini sudah terbang jauh meninggalkan kita?. Ternyata jawabannya sederhana, rakyat kita tetap miskin, semuanya berpangkal pada pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. Seandainya kata “dipelihara”  tidak digunakan, dan ditulis “dibiayai” oleh negara, pasti hasilnya akan berbeda, yakni tidak akan ada lagi fakir miskin dan anak-anak telantar di Indonesia. Mengapa bisa demikian? Ya, kata “dipelihara” adalah “persoalan psikologis” yang mengakibatkan penguasa negeri ini berperilaku seperti orang yang memelihara ternak. Orang yang memelihara ternak tentu ingin ternaknya berkembang biak dengan baik, sehingga menghasilkan banyak ternak. Hal ini tentu saja dapat diartikan bahwa fakir miskin dan anak terlantar sengaja dipelihara oleh negara agar dapat terus “dikembangbiakkan” atau dijadikan “obyekan” bagi para penguasa.[1] Negara tampaknya menggunakan konstruksi berpikir yang kacau, sehingga menganggap fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara tanpa perlu ada upaya bagaimana memelihara dan menjadikannya menjadi manusia-manusia yang produktif.
Anekdot tersebut di atas, hanyalah sebuah ungkapan kegelisahan anak bangsa terhadap kondisi yang menimpa bangsa tercinta ini. Mengapa tidak, kita memulainya dengan istilah atau bahasa yang keliru dalam perundang-undangan. Kita tentu tidak ingin mendengar lagi kisah pilu orang miskin di negeri ini. Kisah seperti seorang ibu rumah tangga bernama Dasty (50) nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Warga Kelurahan Tamansari, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, Banten, itu diduga tertekan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup;[2] atau kisah Baekuni alias Babe yang menggelandang karena miskin. Babe setidaknya mengaku telah membunuh 14 anak jalanan dan enam lainnya di mutilasi;[3] bahkan yang paling baru adalah di awal tahun 2011, Enam warga Desa Jebol, Jepara, Jawa Tengah, tewas akibat keracunan tiwul atau makanan yang diolah dari singkong. Menurut keluarganya mereka mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras.[4] Potret masalah kemiskinan tersebut hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak penderitaan yang dirasakan masyarakat miskin di negeri ini, padahal negara ini katanya kaya. Lihat saja tanah Papua dengan potensi sumber daya alam berupa emas terbesar di dunia atau Kabupaten Kutai Kartanegara yang kaya akan minyak buminya dan sejumlah daerah di tanah air kita yang berlimpah potensi sumber daya alamnya. Ironi, inilah negara yang letaknya dikelilingi laut, tapi masih sering mengimpor garam. Inilah negara yang mempunyai lahan pertanian luas (negara agraris), tapi masih sering mengimpor beras.
Kemiskinan memang menjadi salah satu masalah utama umat manusia  di belahan bumi manapun yang sudah ada sejak dulu. Fenomena ini telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah utama di negara manapun.  Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum, bukan merupakan fenomena yang bersifat khusus pada masyarakat yang berlatar belakang, suku bangsa dan agama. Namun kemiskinan menjadi ukuran martabat suatu bangsa.
Bangsa yang rakyatnya makmur tentu memiliki martabat dan akan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi geografis dan demografis, Singapura bukanlah negara besar, tapi karena kehidupan rakyatnya sejahtera, Singapura menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan dalam setiap pergaulan internasional. Sebaliknya negara kita, dari sisi geografis maupun demografis, Indonesia boleh dikatakan negara besar, tapi karena jumlah penduduk miskinnya banyak dan pendapatan perkapita penduduknya rendah, Indonesia menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain. Lihat saja, bagaimana bangsa ini dilecehkan oleh negara tetangganya sendiri (Malaysia) dan didikte oleh negara-negara yang tergabung dalam IMF (International Monetary Foundation).
Disisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri, terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak tertahankan. Tanpa perencanaan yang baik, Indonesia tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman bagi penanggulangan kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah sosial yang relevan untuk dikaji terus-menerus dan dicarikan solusinya. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan menjadi persoalan masyarakat, akan tetapi juga karena gejala kemiskinan sulit untuk ditanggulangi.
Kemiskinan bisa dipandang sebagai dua hal. Sebagai sebab dan sebagai akibat. Sebagai sebab, kemiskinan adalah akar dari sebagian besar terjadinya tindak kriminalitas. Kita seringkali mendengar atau membaca berita tentang pencurian, perampokan atau pembunuhan yang bermotif kemiskinan ekonomi pelakunya. Tidak sedikit pula berita tentang kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan yang disebabkan kemiskinan. Dari sisi ini, kita dapat memandang bahwa kemiskinan adalah sebuah fenomena yang dapat membuat hidup manusia menjadi sangat tidak berarti dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.
Sebagai sebuah akibat, kemiskinan merupakan suatu produk. Produk dari ketidakadilan bahkan kedzholiman. Ketidakadilan atau kedzholiman pemimpin, hukum atau sistem, bahkan ketiganya. Pemimpin yang tidak adil akan menempatkan orang miskin sebagai obyek yang tidak perlu diperhatikan. Sehingga, pemimpin seperti ini hanya akan menjadikan orang miskin menjadi salah satu subsistem negara yang berada pada posisi ‘teraniaya’. Ini dapat dilihat dari tidak adanya ruang bagi masyarakat miskin untuk dapat melakukan aktivitas sosial dan ekonomi secara baik.


[1] Obyekan adalah istilah yang sering digunakan orang untuk menjadikan sesuatu sebagai hal yang dapat mendatangkan keuntungan secara tidak baik.
[2] Kompas.com. 02/07/2009, 08:11 WIB
[3] Liputan6.com. 22/01/2010, 20:22 WIB
[4]Liputan 6.com. 03/01/2011, 19:49 WIB

Sabtu, 24 Desember 2011

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL


Diakses 25 Desember 2011

Hukum Mengucapkan dan Menjawab Selamat Natal
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sudah sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall dan pusat perbelanjaan menggelar event-event bertemakan natal. Semua itu untuk memeriahkan hari crismash yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan.
Dalam akidah Islam Isa putera Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta’ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,
وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. al-Jin: 3)
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)
Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.
"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.
Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400 tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, menghormati perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.
Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.
Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010), menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)
Prof DR HM Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.
"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).
Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya Natal yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan.
Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.
“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?
Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:
“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.
Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”
Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.
Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.
Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com) [PurWD/voa-islam.com]