KEMISKINAN
Identifikasi Penyebab & Strategi Penanggulangannya
Tulisan ini adalah Bagian Pendahuluan dari buku yang saya buat dan telah diterbitkan tahun 2011 oleh Nadi Pustaka bekerjasama dengan Publica Institute.
Memulai buku tersebut, saya teringat pada sebuah anekdot yang mungkin bisa menjawab kegelisahan bangsa kita selama ini. Kegelisahan yang membuat kita mungkin sering bertanya, bahwa mengapa sampai saat ini jumlah masyarakat miskinnya masih banyak, sementara negara-negara lain yang dulunya bernasib sama seperti kita, kini sudah terbang jauh meninggalkan kita?. Ternyata jawabannya sederhana, rakyat kita tetap miskin, semuanya berpangkal pada pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. Seandainya kata “dipelihara” tidak digunakan, dan ditulis “dibiayai” oleh negara, pasti hasilnya akan berbeda, yakni tidak akan ada lagi fakir miskin dan anak-anak telantar di Indonesia. Mengapa bisa demikian? Ya, kata “dipelihara” adalah “persoalan psikologis” yang mengakibatkan penguasa negeri ini berperilaku seperti orang yang memelihara ternak. Orang yang memelihara ternak tentu ingin ternaknya berkembang biak dengan baik, sehingga menghasilkan banyak ternak. Hal ini tentu saja dapat diartikan bahwa fakir miskin dan anak terlantar sengaja dipelihara oleh negara agar dapat terus “dikembangbiakkan” atau dijadikan “obyekan” bagi para penguasa.[1] Negara tampaknya menggunakan konstruksi berpikir yang kacau, sehingga menganggap fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara tanpa perlu ada upaya bagaimana memelihara dan menjadikannya menjadi manusia-manusia yang produktif.
Anekdot tersebut di atas, hanyalah sebuah ungkapan kegelisahan anak bangsa terhadap kondisi yang menimpa bangsa tercinta ini. Mengapa tidak, kita memulainya dengan istilah atau bahasa yang keliru dalam perundang-undangan. Kita tentu tidak ingin mendengar lagi kisah pilu orang miskin di negeri ini. Kisah seperti seorang ibu rumah tangga bernama Dasty (50) nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Warga Kelurahan Tamansari, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, Banten, itu diduga tertekan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup;[2] atau kisah Baekuni alias Babe yang menggelandang karena miskin. Babe setidaknya mengaku telah membunuh 14 anak jalanan dan enam lainnya di mutilasi;[3] bahkan yang paling baru adalah di awal tahun 2011, Enam warga Desa Jebol, Jepara, Jawa Tengah, tewas akibat keracunan tiwul atau makanan yang diolah dari singkong. Menurut keluarganya mereka mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras.[4] Potret masalah kemiskinan tersebut hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak penderitaan yang dirasakan masyarakat miskin di negeri ini, padahal negara ini katanya kaya. Lihat saja tanah Papua dengan potensi sumber daya alam berupa emas terbesar di dunia atau Kabupaten Kutai Kartanegara yang kaya akan minyak buminya dan sejumlah daerah di tanah air kita yang berlimpah potensi sumber daya alamnya. Ironi, inilah negara yang letaknya dikelilingi laut, tapi masih sering mengimpor garam. Inilah negara yang mempunyai lahan pertanian luas (negara agraris), tapi masih sering mengimpor beras.
Kemiskinan memang menjadi salah satu masalah utama umat manusia di belahan bumi manapun yang sudah ada sejak dulu. Fenomena ini telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah utama di negara manapun. Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum, bukan merupakan fenomena yang bersifat khusus pada masyarakat yang berlatar belakang, suku bangsa dan agama. Namun kemiskinan menjadi ukuran martabat suatu bangsa.
Bangsa yang rakyatnya makmur tentu memiliki martabat dan akan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi geografis dan demografis, Singapura bukanlah negara besar, tapi karena kehidupan rakyatnya sejahtera, Singapura menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan dalam setiap pergaulan internasional. Sebaliknya negara kita, dari sisi geografis maupun demografis, Indonesia boleh dikatakan negara besar, tapi karena jumlah penduduk miskinnya banyak dan pendapatan perkapita penduduknya rendah, Indonesia menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain. Lihat saja, bagaimana bangsa ini dilecehkan oleh negara tetangganya sendiri (Malaysia) dan didikte oleh negara-negara yang tergabung dalam IMF (International Monetary Foundation).
Disisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri, terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak tertahankan. Tanpa perencanaan yang baik, Indonesia tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman bagi penanggulangan kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah sosial yang relevan untuk dikaji terus-menerus dan dicarikan solusinya. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan menjadi persoalan masyarakat, akan tetapi juga karena gejala kemiskinan sulit untuk ditanggulangi.
Kemiskinan bisa dipandang sebagai dua hal. Sebagai sebab dan sebagai akibat. Sebagai sebab, kemiskinan adalah akar dari sebagian besar terjadinya tindak kriminalitas. Kita seringkali mendengar atau membaca berita tentang pencurian, perampokan atau pembunuhan yang bermotif kemiskinan ekonomi pelakunya. Tidak sedikit pula berita tentang kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan yang disebabkan kemiskinan. Dari sisi ini, kita dapat memandang bahwa kemiskinan adalah sebuah fenomena yang dapat membuat hidup manusia menjadi sangat tidak berarti dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.
Sebagai sebuah akibat, kemiskinan merupakan suatu produk. Produk dari ketidakadilan bahkan kedzholiman. Ketidakadilan atau kedzholiman pemimpin, hukum atau sistem, bahkan ketiganya. Pemimpin yang tidak adil akan menempatkan orang miskin sebagai obyek yang tidak perlu diperhatikan. Sehingga, pemimpin seperti ini hanya akan menjadikan orang miskin menjadi salah satu subsistem negara yang berada pada posisi ‘teraniaya’. Ini dapat dilihat dari tidak adanya ruang bagi masyarakat miskin untuk dapat melakukan aktivitas sosial dan ekonomi secara baik.